selamat datang, pencari inspirasi

sebuah halaman. sebuah cerita. sebuah kisah. dan sebuah inspirasi. teruntai dalam tulisan harmoni laiknya sebuah melodi. perjalanan hidup mencari arti "hidup" itu sendiri. selamat datang, pencari inspirasi...

Minggu, 16 Januari 2011

AKU TAK BISA MENERUSKANNYA, AYAH


Nanar mataku memandang draft novel yang (rencananya) akan kukirim ke penerbit minggu ini. Suntuk. Kehabisan ide. Buntu. Itu yang kurasakan. Hhhhhhh sejenak kuhela napas yang terasa berat. Aku tak sanggup. Sungguh.
Mataku beralih ke stereofoam hijau yang penuh dengan tempelan deadline. Ya Deathline ! ku ambil secarik kertas kuning berbentuk hati itu dan kurasakan keningku mulai berkerut.
Deadline 31 January: Draft “ perjalanan untuk ayah ” harus selesai !!! SEMANGAT !!!!
Sengaja aku buat tulisan itu dengan spidol hitam tebal, sampai menembus ke belakang kertas. Aku berusaha mengingat-ingat kapan aku membuat note itu. Sebentar… aahh ya, aku membuatnya satu bulan yang lalu. Ahh tidak, satu setengah bulan yang lalu. Dan sampai saat ini, novel ini belum selesai juga. Aku mulai bertanya, lalu apa masalahnya? Bukankah aku sangat suka menulis? Bukankan menjadi penulis adalah impianku? Impian yang harus aku perjuangkan. Impian yang juga memporak-porandakan kedamaian keluarga. Impian yang membuat aku pergi meninggalkan ayahku. Hhhhhhh… lagi-lagi aku menghembuskan napas yang terasa berat. Sangat berat.
aku sadar, aku mulai terpuruk. Bosan. Jenuh. Ini yang kurasakan tapi enggan tuk akui. Enggan tuk mengaku kalah, mengaku lemah. Mungkin aku butuh sedikit udara segar, dan secangkir kopi kental adalah yang terbaik dikala terpuruk.
Tegukan pertama kopi ini mengingatkanku akan Saudia muda, yang berbakat, energik, supel, tetapi suka mengkhayal. Ya Saudia yang suka mengkhayal hingga membuatku menjadi penulis sekarang ini. Saudia muda yang memiliki daya imajinasi yang tinggi hingga menjadi salah satu penulis muda berbakat Indonesia. Sampai pada hari ketika aku harus menyelesaikan novel ini. Saudia berbakat itu hilang. Pikiranku buntu, jariku beku. Aneh, tak seperti biasanya, imajinasiku menguap bagai panas kopi ini yang makin lama akan menjadi dingin. Begitu juga hati ini, begitu dingin.
Sejak kecil aku memang agak berbeda dengan anak-anak lain. Aku lebih senang membaca buku-buku daripada berlarian di luar mengejar kupu-kupu. Aku lebih tertarik berbicara dengan boneka pandaku daripada harus mengobrol dengan teman-teman sebaya. Dan aku paling suka dunia khayal daripada dunia nyata. Aneh memang. Anak aneh. Tapi bukan berarti aku tumbuh menjadi gadis kutu buku, penyendiri, dan seorang pelamun. Aku tumbuh normal dengan kelebihan yang aku punya yaitu kemampuan meramu kata-kata menjadi sebuah cerita. Dapat kurasakan betapa bebas dan bahagianya aku ketika menulis. Apa saja aku tulis, apa yang kurasakan, pengalaman teman, hingga kegiatan yang dilakukan si momo, kucing gemuk kesayanganku, seharian. Semuanya aku tulis. Di sekolah, aku selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran mengarang. Tulisan-tulisanku selalu dimuat pada majalah-majalah anak-anak dan remaja. Gaya menulisku juga berubah-ubah mengikuti mood hari itu. Aku sering memenangkan lomba-lomba menulis. Dan pada akhirnya membuatku bermimipi menjadi penulis. Aku bangga, teman-teman bangga, tapi ayah tidak. Ayah tidak bangga. Ayah tidak pernah setuju dengan cita-citaku menjadi seorang novelis.
“pekerjaan itu tidak menjanjikan ! “ marah ayah, ketika aku menyampaikan impianku, “kenapa kamu tidak bekerja kantoran saja? Itu lebih baik daripada menjadi penulis !”
Dan aku pun menjawab pertanyaan itu dengan beribu argument yang menguatkan mimpiku.
“aku ingin jadi penulis ayah ! kenapa ayah tidak pernah mengerti ?” bentakku lebih emosi,”aku tidak mau menjadi pekerja kantoran, karena aku tidak suka !”
“kalau tidak mau bekerja kantoran, kamu cukup meneruskan usaha ayahmu yang sudah mapan ini. Tak perlu memulai sesuatu dari nol lagi. Kamu cukup meneruskannya, Saudia,” begitu nasehat Tante Mar, adik ayahku.
“aku tidak mau ! aku tidak suka dunia bisnis yang kejam !    “ amarahku masih meluap, “berikan saja bisnis keluarga ini ke Gandhi !”
Semua ini karena aku anak pertama keluarga, jadi akulah yang harus menjadi pewaris bisnis ini. Dan aku tidak suka. Pertengkaran pun makin menjadi hingga akhirnya aku merasakan pipi kananku perih. Ya, ayah menamparku. Hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan seorang ayah pada anak gadisnya. Tapi ayahku menamparku. Dan hari itu juga, aku kabur dari rumah. Aku sangat membenci ayah !!
Kembali ku pandangi novel yang sedang dalam proses ini. Kenapa bisa sampai suntuk begini? Biasanya jemari ku lincah menari bagaikan pianis yang memainkan lagu dengan indahnya di tuts-tuts piano. Imajinasi ku juga mengalir bagai hujan deras yang selalu mengguyur seisi kota. Tetapi kenapa kali ini lain? Aku tak sanggup meneruskannya.
….Ayala sudah merunduk, bersimpuh di kaki laki-laki tua yang telah membesarkannya. Ia meminta permohonan maaf untuk kesekian kalinya. Masih dengan berurai air mata, ia memeluk kaki sang ayah kuat-kuat sambil berucap lirih “Maaf Ayah.” …..
Hebat benar aku ini, mampu menulis kalimat ini padahal aku sendiri tak punya keberanian untuk bertindak seperti Ayala, yang hanyalah tokoh rekaan. Ayala mampu mengucapkan kata yang tak sanggup kukatakan. Andai aku mampu mengucapkan kata maaf pada ayah. Mampu mengucapkannya sebelum ayah pergi menghadap Tuhan. Pasti penyesalan tak seberat ini. Sangat sakit dan perih. Lebih perih daripada tamparan ayah. Tamparan itu telah hilang tak berbekas hingga tak terlihat. Sama seperti ayah yang telah pergi dan tak terlihat lagi. Hhhhhh kuhela nafas yang terasa lebih ringan.
Kopi ku tinggal seteguk lagi, dan aku masih buntu. Masih suntuk. Aku tak mampu meneruskannya, Ayah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar